Ahmadi Menikah dengan Ghair Ahmadi
Tujuan pernikahan, salah satunya adalah meraih kebahagiaan secara jasmani dan ruhani. Oleh karena itu, sebagai sebuah organisasi, Jemaat Ahmadiyah membuat satu aturan agar anggotanya mendapatkan kebahagiaan tersebut.
Jemaat Ahmadiyah tidak memberikan fatwa haram kepada anggota wanitanya yang menikah dengan laki-laki muslim non-Ahmadi. Sebab pendiri Ahmadiyah tidak membawa syariat baru, apalagi yang bertentangan dengan syariat Islam. Jemaat Ahmadiyah hanya melarang agar wanita Ahmadi menikah dengan non-Ahmadi. Hal seperti ini biasa dilakukan oleh golongan selain jemaat Ahmadiyah dengan tujuan untuk menjaga keharmonisan dan keutuhan rumah tangganya.
Dalam Al-Qur’an Allah (swt) berfirman:
اَلرِّجَالُ قَوّٰمُوۡنَ عَلَی النِّسَآءِ بِمَا فَضَّلَ اللّٰہُ بَعۡضَہُمۡ عَلٰی بَعۡضٍ وَّ بِمَاۤ اَنۡفَقُوۡا مِنۡ اَمۡوَالِہِمۡ ...
Artinya: “Laki-laki itu pelindung bagi perempuan karena Allah telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain, dan karena laki-laki membelanjakan sebagian dari harta mereka…” (QS An-Nisaa [4] ayat 35 dengan basmallah)
Dalam sebuah hadits Rasulullah saw bersabda:
...لَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لِغَيْرِ اللَّهِ لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا...
“…kalau saja aku diperbolehkan memerintahkan seseorang untuk bersujud kepada selain Allah, niscaya aku akan perintahkan seorang isteri bersujud kepada suaminya…” (H.R. Ibnu Majah)[1]
Dengan latar belakang seperti itulah sekiranya wanita-wanita Ahmadi menikah dengan bukan Ahmadi maka sepanjang umur wanita itu akan menderita karena di satu pihak harus taat dengan suaminya dan di satu pihak ia harus taat kepada organisasi yang kadang-kadang kedua-duanya itu bertolak belakang. Maka larangan Ahmadiyah kepada wanita-wanitanya untuk tidak menikah dengan laki-laki yang bukan Ahmadi, semata-mata bertujuan untuk menyelamatkan rumah tangga mereka supaya tercipta keharmonisan sebagaimana semboyan ‘rumahku adalah surgaku’. [2]
Dari penjelasan diatas, seorang Ahmadi yang menikah dengan non-Ahmadi tidak otomatis diberi fatwa keluar dari Islam. Akan tetapi, karena ia melanggar aturan organisasi, maka bisa saja ia diberikan hukuman dikeluarkan dari organisasi.
Mengapa hal ini terjadi? Mari kita simak latar belakangnya.
Latar Belakang
Pada tahun 1835, Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad lahir. Pada tahun 1880, beliau menulis buku Barahin Ahmadiyah bagian 1 dan 2. Pada tahun 1882, beliau menulis buku Barahin Ahmadiyah bagian 3. Pada tahun 1884, beliau menulis buku Barahin Ahmadiyah bagian 4. Pada buku Barahin Ahmadiyah bagian 4 ini, beliau menulis bahwa Nabi Isa as akan datang lagi ke dunia ini. Pada tanggal 1 Desember 1888, beliau menerbitkan pengumuman baiat. Pada tanggal 23 Maret 1889, beliau mengambil baiat pertama di Ludhiana. Pada tahun 1890, Allah Ta’ala mengabarkan kepada beliau bahwa Al-Masih Ibnu Maryam utusan Allah telah wafat dan engkau datang dalam corak beliau sesuai janji. Dari sinilah pangkal mengapa Ahmadi tidak boleh menikah dengan ghair Ahmadi.
Kemudian, beliau menyebarkan Wahyu tersebut kepada orang-orang. Pada tahun yang sama, tanggal 28 Ramadan 1890, muncul fatwa pertama terhadap beliau dari Maulwi Abdullah Sahib dan Maulwi Abdul Aziz Sahib popular dengan Mufti Ludhiana dalam selebaran:
“Orang ini adalah murtad dan orang Islam haram menjalin silaturahmi dengan orang seperti ini. Demikian pula, orang-orang yang percaya kepadanya, mereka juga kafir dan pernikahan mereka tidak sah. Siapa yang ingin, nikahilah perempuan-perempuan mereka dengan paksa.” (Isya’atus Sunnah, jilid 13, nomor 5)
Namun, beliau tetap bersabar dengan munculnya fatwa tersebut.
Dua tahun sesudahnya, tahun 1893, Qadhi Ubaidullah bin Shibghatallah Sahib memberikan fatwa:
“Orang yang mengikutinya, dia juga kafir dan murtad, dan secara syariat menikahi orang murtad adalah tidak sah, dan perempuannya menjadi haram, dan orang yang menggauli perempuannya adalah zina dan dalam keadaan demikian anak-anak yang lahir, mereka adalah anak zina.” (Fatwa Dar Takfir ‘Uruj Jismi-o-Nuzul Hadhrat Isa ‘alaihissalaam, cetakan Madras, tahun 1311 H)
Fatwa Pendiri Jemaat Ahmadiyah
Hadhrat Masih Mau’ud (as), pendiri Jemaat Ahmadiyah tidak memberikan restu jika ada Ahmadi menikah dengan non-Ahmadi. Beliau menjelaskan,
“Biarlah anak gadis tinggal selamanya di dalam rumah tapi jangan sekali-kali memberikannya pada ghair ahmadi” [3].
Latar belakangnya adalah banyaknya pengalaman wanita Ahmadi yang menikah dengan laki-laki non-Ahmadi mendapatkan tekanan atau penganiayaan pasca pernikahan karena perbedaan kepercayaan.
Hadhrat Masih Mau’ud (as) pada tanggal 7 Juni 1898, beliau menerbitkan selebaran penting kepada jemaat yang berisi fatwa:
“Oleh karena berkat karunia Allah, kasih-sayang dan dengan anugerah suci-Nya, jumlah anggota Jemaat kita terus bertambah banyak. Dan kini, jumlahnya telah mencapai ribuan orang dan tidak lama lagi dengan karunia Tuhan akan sampai pada jumlah ratusan ribu orang”—dan kini, telah sampai puluhan juta— “Oleh karena itu, merupakan hal yang sepatutnya bahwa demi untuk kebaikan, untuk meningkatkan kesatuan di antara sesama mereka dan juga untuk melindungi mereka dari akibat buruk dan pengaruh buruk keluarga mereka, maka berkaitan dengan pernikahan anakanak laki dan anak perempuan harus dilakukan penanganan yang terbaik.
Dan hal ini, jelas bahwa seseorang yang berada di bawah naungan/pengaruh kiyai yang menentang Jemaat dan benar-benar antipati, benci, bakhil dan permusuhan mereka sudah sampai pada puncaknya.
Tidak mungkin menjalin jodoh baru dengan mereka sebelum mereka bertaubah lalu masuk ke dalam Jemaat ini. Dan kini, Jemaat ini dalam hal apapun tidak lagi perlu kepada mereka. Dalam ihwal harta, kekayaan, ilmu, keistimewaan, kekeluargaan, kesucian dan dalam hal mengungguli dalam rasa takut kepada Allah, terdapat banyak sekali [calon suami/istri] dalam Jemaat ini.
Setiap bangsa yang beragama Islam telah didapatkan dalam Jemaat ini. Maka dalam bentuk itu, SAMA SEKALI TIDAK PERLU Jemaat kita mengadakan perhubungan dengan mereka yang mengatakan kita kafir dan menamakan kita dajjal atau mereka sendiri tidak mengatakan tetapi mereka memuji dan mengikuti orang-orang yang seperti itu.”
Yakni, jika mereka sendiri tidak mengatakan tetapi terhadap orang-orang yang mengatakan itu mereka memberikan pujian. Selanjutnya beliau (as) bersabda, “Dan ingatlah, orang-orang yang tidak meninggalkan orang seperti itu mereka tidak layak masuk di dalam Jemaat kita. Selama belum seorang saudara meninggalkan saudaranya demi untuk kesucian dan kebenaran, selama seorang ayah tidak terpisah dengan anaknya, mereka bukanlah dari kita.
Maka, semua Jemaat hendaknya menyimak dengan seksama bahwa untuk senantiasa menjadi bersih suci perlu mentaati semua persyaratan itu.
Oleh karena itu, saya telah mengatur bahwa untuk yang akan datang khusus di tangan saya secara rahasia dan secara terselubung, akan ada sebuah buku rahasia yang di dalamnya tertulis nama-nama anak-anak laki-laki dan perempuan Jemaat. Dan jika ibu-ayah seorang anak perempuan tidak mendapatkan anak laki-laki seperti syarat-syarat yang dari kalangan anggota Jemaatnya dan akhlaknya baik serta layak sesuai dengan ketenteramannya. Demikian pula, jika tidak mendapatkan anak perempuan seperti itu, maka dalam kondisi itu menjadi sebuah keharusan atasnya untuk mengizinkan kepada kami untuk mencarikan jodoh dari kalangan Jemaat. Dan, setiap orang hendaknya merasa puas bahwa kami akan mencarikan jodoh seperti layaknya ibu-ayah yang memiliki solidaritas yang benar, dan sedapat mungkin akan diperhatikan bahwa anak laki-laki dan anak perempuan yang kami carikan itu, hendaknya dari suku keluarga mereka juga. Atau jika tidak, maka dari suku yang secara umum mereka mengetahui cara menjalin tali kekerabatan di antara mereka.
Dan paling utama yang dipikirkan adalah laki-laki dan perempuan itu hendaknya yang saleh, layak dan serasi pula serta nampak akhlak yang mulia di dalam diri mereka.
Buku catatan ini akan disimpan secara rahasia. Dan secara sporadis sesuai kondisi yang dihadapi akan disampaikan informasi dan berkaitan dengan anak laki-laki dan anak perempuan manapun tidak akan dibukakan mengenai kerahasiaannya selama belum terbukti akan keahlian dan kesalehannya.”
Sejumlah orang begitu saja datang menanyakan seperti itu. Datanglah dahulu baru memberitahukan.
“Oleh karena itu, merupakan keharusan bagi orang-orang mukhlis kita, kirimkanlah daftar nama-nama anak, umur dan suku kepada kami. Supaya hal itu dapat dibukukan di dalam kitab catatan yang ada.” [4] [5]
Fatwa Khalifatul Masih II (ra)
Hadhrat Khalifatul Masih II (ra) menyampaikan,
Sebagian besar orang Jemaat yang menikahkan anak-anak perempuannya dengan luar Ahmadiyah segera menyadari kesalahan mereka setelah beberapa waktu kemudian tahu beberapa akibatnya. Orang-orang tersebut (baik perempuan yang menikah dengan ghair atau ayahnya) masih menulis surat kepada saya yang mengakui bahwa mereka menderita karena keputusan-keputusan yang mereka ambil. Contohnya mereka mengatakan, “Putri kami telah menjauh dari agama.” Atau “Putri kami telah dilarang oleh suami mereka atau mertua mereka untuk bertemu dengan keluarga mereka sendiri.” [6]
Fatwa Khalifatul Masih V (aba)
Kutipan Surat Hadhrat Khalifatul Masih V atba kepada Sadr Lajnah Imailah Indonesia tanggal 6 Desember 2003, beliau menyampaikan,
Pertanyaan kedua berkenaan dengan perkawinan wanita ahmadi dengan pria ghair ahmadi. Telah ada pedoman yang jelas, sejelas kristal. Dalam kasus-kasus demikian aturan tersebut telah ditegakkan dengan teguh dan panjang lebar diterangkan pula cara untuk ditaati.
-
Menjadi satu kepastian yang jelas bahwa bagaimanapun juga seorang wanita ahmadi tidak diijinkan menikah di luar lingkungan Jamaat dengan pria ghair Ahmadi. Harus dipahami dengan jelas bahwa perkawinan diluar Jamaat adalah serupa dengan Irtidad atau meninggalkan (melepaskan) Ahmadiyah.
-
Apabila seorang anggota Lajnah memperlihatkan sikap memberontak dan memberitahukan niatnya untuk menikahi seorang pria ghair Ahmadi dan walaupun diberi peringatan dan nasihat, dia tidak mengindahkan nasihat tersebut maka dia harus dikeluarkan dari Nizam Jamaat. Hal itu harus menjadi kewajiban Jamaat, dan Pengurus yang berwenang harus melaporkan kasus tersebut ke Pusat serta menganjurkan agar orang tersebut dikeluarkan (dari Jamaat).
-
Ada hal-hal yang harus diingat (diperhatikan) ketika berurusan dengan masalah seperti itu dan harus memastikan siapa yang melaksanakan upacara pernikahan tersebut. Jika dia seorang ahmadi maka artinya dia juga bersikap menentang aturan (ketentuan) serta tata cara yang telah ditetapkan oleh Jamaat dan kepadanya dapat dikenakan sangsi yang direkomendasi.
-
Jika seorang angota Lajnah memohon kepada Nizam Jamaat untuk diijinkan (diperbolehkan) serta menggunakan pengaruhnya yang besar guna mencapai tujuannya, dapat tetap meneruskan proses perkawinan tanpa mempertimbangkan bahwa Jamaat belum memberikan keputusan apapun maka dia juga melanggar disiplin Jamaat.
-
Kemudian yang terakhir, jika seorang anggota Lajnah tidak berusaha menghubungi Jamaat atau tidak pula memberitahukan niatnya untuk menikah dengan pria ghair Ahmadi, maka sehubungan dengan hal itu Jamaat harus melakukan/melaksanakan prosedur yang telah ditetapkan untuk mengeluarkan dia serta orangorang (Ahmadi) yang mempunyai kaitan dengan perkawinannya. Pula harus menjadi suatu yang jelas bahwa seseorang yang sudah menikah dengan pria ghair Ahmadi dan dia telah dikeluarkan dari Nizam Jamaat, maka penegasan pengulangan kembali bai’atnya tidak secara otomatis menjadi semacam jaminan bahwa dia dimaafkan serta dapat mengembalikan statusnya sebagai seorang Ahmadi. [7]
Melepaskan Baiat dan Ketaatan terhadap Imam Mahdi (as)
Hadhrat Khalifatul Masih V (aba) menyatakan,
Akan tetapi banyak orang yang menuduh Jema’at juga atas terjadinya kericuhan didalam sebuah pasangan suami isteri. Hal itu berlaku apabila seorang khadim (pemuda Jema’at) telah kawin atas kehendaknya sendiri dengan seorang perempuan ghair Ahmadi. Dia tidak meminta izin kepada Jema’at untuk menikah dengan perempuan ghair itu, karena takut Jema’at tidak akan setuju dan akan menganggap tidak baik kepadanya. Atau kadangkala dari pihak perempuan ghair Ahmadi itu menentukan syarat-syaratnya bahwa pernikahan harus dipimpin oleh seorang qadhi ghair Ahmadi atau siapa saja bukan orang Ahmadi. Pemuda Ahmadi seperti itu dengan rela hati membiarkan dirinya dinikahkan oleh seorang qadhi ghair Ahmadi. Sesungguhnya dia telah melakukan kesalahan yang serius yang mengakibatkan pernyataan bai’atnya itu telah melemparkan dia keluar Jema’at, sebab qadhi atau maulvi yang telah menikahkannya itu telah mendustakan da’wa Hazrat Masih Mau’ud (as) Dia telah mengafirkan Hazrat Masih Mau’ud (as)
Jadi perbuatan pemuda Ahmadi atau keluarganya yang menjadi penolongnya untuk melakukan perkawinan itu seakan-akan telah mengumumkan diwaktu berlangsungnya akad nikah itu bahwa: Saya telah membatalkan pernyataan bai’at saya kepada Hazrat Masih Mau’ud (as) dan keluar dari Jema’at dan saya akan dinikahkan oleh seorang qadhi Maulvi Ghair Ahmadi. Saya menganggap beliau (Hazrat Masih Mau’ud (as)) itu dusta dan kafir. Na’uzu billahi min dzalik! Jadi dengan perbuatan demikian pemuda atau keluarganya itu dari segi itikad telah mengingkari da’wa beliau (as) sebagai Masih Mau’ud dan Mahdi Mau’ud. Sebab mereka telah mendukung Maulvi Ghair Ahmadi untuk mengafirkan dan mendustakan Hazrat Masih Mau’ud (as) Dan apabila mereka sudah dikeluarkan dari Jema’at karena tingkah laku mereka itu, mereka berkata: Jema’at telah berlaku zalim kepada kami!! Padahal nikah telah kami laksanakan sesuai sunnah Rasulullah (saw) [8]
Jauh dari Agama
Hadhrat Khalifatul Masih V (aba) menyatakan,
Jika seandainya orang itu meminta izin untuk dinikahkan oleh seorang Qadi Jema’at, tentu imannya juga terjamin dan ia terlepas dari percobaan. Selain dari itu, orang demikian harus berfikir, bahwa asas yang sangat baik telah ditentukan oleh Hazrat Rasulullah (saw) untuk memilih calon isteri, yaitu harus mengutamakan agamanya bukan mengutamakan keinginan pribadinya. Dan mengapa ianya tidak memilih calon dari keluarga Ahmadi? Carilah pasangan dari antara orang Jema’at yang baik dan beragama. Maka tentu ianya dan keluarganya bukan hanya terlepas dari ujian atau percobaan, bahkan mereka akan mendapat ganjaran dari Allah (swt). Demikian juga ada beberapa anak-anak gadis Jema’at telah diberi kebebasan oleh orang tua mereka. Atau karena beberapa alasan mereka dibiarkan menikah dengan ghair Ahmadi. Akibatnya bukan hanya mereka itu yang dikeluarkan dari Jema’at Hazrat Masih Mau’ud (as) bahkan hati merekapun tidak rela seratus peratus mengawinkan dengan orang gahir Ahmadi itu. Saya katakan demikian karena ada juga gadis Ahmadi yang tidak menghendaki memutuskan hubungan dengan Jema’at. Namun setelah melangsungkan perkawinan dengan ghair Ahmadi, karena keadaan iman mereka yang lemah itu mau tidak mau harus menghadapi akibat dari perbuatannya itu, yaitu anak mereka jatuh kepangkuan tarbiyat orang-orang luar Jema’at. Oleh karena keadaan seperti ini semakin meningkat maka saya menganggap perlu untuk membahasnya didalam khutbah ini.
Jadi, setiap orang Ahmadi harus menaruh janji itu dihadapannya untuk selalu diingat yaitu, aku akan mendahulukan kepentingan agama dari pada kepentingan pribadi. Dimana perasaan ini selalu timbul didalam hatinya tentu ia akan mempertahankan imannya. Seorang Ahmadi sejati harus menolak semua keinginan duniawi yang akan merusak keimanannya. Jika setiap orang Ahmadi faham perkara ini dan mengamalkan peraturan Jema’at maka pasti ia akan mampu meraih kecintaan Allah (swt) Dan ia akan mampu menjalin hubungan sejati dengan Ibrahim zaman ini sehingga ia akan menjadi pengikut beliau yang telus dan ikhlas. Apabila masalah hukuman sudah mulai dibahas dan diputuskan, maka sesuai dengan nizam Jema’at hukuman harus dikenakan diatas orang yang melanggarnya. Akan tetapi kepada siapapun hukuman itu dikenakan, membuat hati saya sangat susah dan pedih sekali [8].
Ketidak-Stabilan dalam Masyarakat
Hadhrat Khalifatul Masih V (aba) menyatakan,
Jika pemuda Ahmadi meninggalkan anak-anak perempuan Ahmadi dan anak-anak perempuan Ahmadi meninggalkan pemuda Ahmadi, lalu menikah dengan orang-orang ghair Ahmadi, maka akan terjadi bahaya timbulnya kekacauan (ketidakstabilan) dalam masyarakat. Dan dalam keluarga, akan lahir kemungkinan timbulnya bahaya dimana generasi yang baru akan mulai bergeser dari agama.
Oleh karena melihat kufu dalam agamapun, sedemikian rupa pentingnya sebagaimana halnya kekufuan dari segi dunia; kini, terdapat sejumlah kecenderungan pemuda-pemuda Ahmadi dan anak-anak perempuan Ahmadi mencari jodoh di kalangan Ghair Ahmadi. Hendaknya, perlu menaruh perhatian serius ke arah ini. Khususnya, dalam masyarakat yang bebas ini.
Kekhawatiran Lembaga Jemaat pun menjadi bertambah besar karena kasus-kasus seperti itu menjadi bertambah banyak dimana anak perempuan dan anak laki-laki dengan keinginannya sendiri, mencari jodoh di luar Jemaat atau di luar agama lain. [5]
Agar Generasi-generasi Mendatang Teguh dalam Agama
Hadhrat Khalifatul Masih V (aba) menyatakan,
Pada zaman ini, dengan sangat konsekuen, Hadhrat Masih Mau’ud (as) berupaya mengamalkan perintah Alquran dan perintah Rasulullah (saw). Dan secara khusus, beliau (as) berupaya dan memperhatikan bahwa pernikahan anak-anak laki-laki Ahmadi dan anak-anak perempuan adalah hanya dalam Jemaat. Supaya, generasi-generasi yang akan datang menjadi generasi-generasi yang teguh dalam agama. Beliau sangat menekankan mencari jodoh dalam Jemaat di antara satu dengan yang lain. Ini adalah [informasi/imbauan] untuk mereka yang mencari jodoh di luar Ahmadi.
Setahun Mubayyi’ Baiat Boleh Menikah dengan Anggota Lajnah
Huzur V (aba) menjelaskan,
Seorang Muballigh kita bernama Irshad Mahmud Sahib dari Kirgistan menulis, “Melalui National Sadr (Ketua Nasional) Jemaat Kirgistan, Tuan Salamah, seorang perempuan muda bernama Jildiz Abdulllaeva telah baiat masuk Jemaat Ahmadiyah. Perempuan itu bekerja di kantor American Base di Kirgistan. Disana seorang pegawai dari Amerika sangat tertarik kepadanya karena ia melihat perempuan ini sangat baik perangai dan perilakunya serta mempunyai banyak sifat malu. Laki-laki Amerika telah menyatakan keinginan untuk mengawininya. Perempuan kita itu berkata kepadanya; ‘Saya seorang Muslimah Ahmadi, akan saya jawab kepada anda setelah menanyakan masalah ini kepada pengurus Jemaat saya.’
Ia (wanita Jemaat itu) datang ke Mission House (Darut Tabligh, Rumah Misi) dan dikatakan kepadanya [oleh pengurus Jemaat], ‘Seorang perempuan Muslim tidak boleh menikah dengan orang non-Muslim. Islam tidak memberi izin untuk itu.’ Maka perempuan Muslimah Ahmadi yang baik hati ini menolak untuk dinikahi. Laki-laki Kristen itu sangat penasaran lalu berkata kepada perempuan itu: ‘Jika saya masuk Islam apakah saya boleh kawin dengan engkau?’ Perempuan Ahmadi ini berkata kepadanya; ‘Jika anda hendak masuk Islam, masuklah dengan hati yang ikhlas dan dengan sungguh-sungguh. Masuk Islam karena untuk menikah tidak dapat saya terima. Jika anda masuk Islam untuk menikahi saya, tidak akan saya terima dan tidak mau saya menikah dengan anda.’
Padahal disebabkan kemiskinan orang-orang perempuan Kirgistan lebih cenderung untuk nikah dengan orang-orang asing. Akan tetapi anak perempuan Ahmadi ini menolak tawaran laki-laki Kristen itu untuk menikah dengannya. Kemudian lelaki Kristen itu melakukan penyelidikan tentang Islam dan terus-menerus membaca buku-buku Jemaat selama enam bulan, akhirnya pada tanggal 1 Juli 2011 ia baiat masuk Ahmadiyah, Islam Sejati. Di kala sedang mengadakan penyelidikan tentang Islam Ahmadiyah lelaki Kristen ini telah membaca banyak website yang menentang Islam Ahmadiyah. Di situpun ia menelaahnya dan akhirnya perasaan hati pemuda ini merasa tenteram dan puas dengan keterangan-keterangan dari Ahmadiyah yakni Islam Hakiki dan Allah Ta’ala telah memberi taufiq kepadanya untuk baiat masuk Jemaat Ahmadiyah yakni Islam Hakiki.”
Ringkasnya, itulah perobahan suci tabiat manusia dan itulah istiqamah, keteguhan hati. Untuk memperoleh martabah demikian harus banyak memanjatkan doa kepada Allah Ta’ala. Perempuan itu belum lama masuk Ahmadiyah dan keadaannya juga miskin. Sebetulnya ia telah mendapat calon risyta (pasangan nikah) yang baik dari segi duniawinya. Akan tetapi ia telah menolaknya demi agama dan demi keimanan yang telah ia peroleh. Hal itu menjadi bahan pikiran bagi perempuan-perempuan di sana mengapa ia telah menolak menikah dengan orang asing yang sebenarnya menjadi tumpuan dan harapan bagi banyak wanita di negeri itu. Banyak orang-orang yang baiat karena tujuan untuk menikah dengan wanita Jemaat. Itulah sebabnya sebuah peraturan telah ditetapkan dalam Jemaat bahwa selama belum mencapai satu tahun setelah baiat dan belum diketahui kemukhlisannya pada umumnya bagi para wanita Ahmadi tidak diizinkan menikah dengan Mubayi’ baru itu. Maksudnya, supaya jelas keadaannya bahwa orang itu baiat karena semata-mata untuk menikah atau tidak, [yaitu baiat karena memang menerima kebenaran Jemaat]? [9]
Catatan Kaki
-
Syamsir Ali (2009). Madu Ahmadiyah Untuk Para Penghujat. Wisma Damai, hal. 47 http://ahmadiyah.id/ahmadiyah/tuduhan/klarifikasi-larangan-pengikut-ahmadiyah-menikah-dengan-selain-mereka ↩
-
Buku Pedoman Rishta Natah, Majelis Amilah Jamaat Ahmadiyah Indonesia, 2004, hlm. 32 ↩
-
Majmu’ah Isytihaaraat, Jilid III, halaman 50-51, Asy-Syirkatu’l-Islaamiyyah Limited Rabwah ↩
-
KHUTBAH JUMAT Jumat, 13 Dzulqaidah 1425 HQ (24 Fatah 1383 HS/Desember 2004 M) di Mesjid Baitus-Salam, Paris, Perancis ↩ ↩2
-
Ringkasan Khotbah Jumat, Butir-Butir Mutiara Hikmah dari Hadhrat Khalifatul Masih II, oleh Pemimpin Jamaah Muslim Ahmadiyah Hadhrat Mirza Masroor Ahmad di Masjid Baitul Futuh London, 8 April 2016 ↩
-
Buku Pedoman Rishta Natah, Majelis Amilah Jamaat Ahmadiyah Indonesia, 2004, hlm. 38-40 ↩
-
Khotbah Jumat Sayyidina Amirul Mu’minin, Hadhrat Mirza Masroor Ahmad, Khalifatul Masih al-Khaamis ayyadahulloohu Ta’ala binashrihil ‘aziiz Tanggal 04 Juli 2008 dari Masjid Baitun Nur Canada ↩ ↩2
-
Khotbah Jumat Sayyidina Amirul Mu’minin Hadhrat Mirza Masroor Ahmad Khalifatul Masih al-Khaamis ayyadahullaahu Ta’ala binashrihil ‘aziiz tanggal 2 September 2011 di Masjid Baitul Futuh, UK. ↩